Minggu, 27 Juli 2008

Sastra Cyber

Sastra cyber (menurut kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia mestinya ditulis "cyber", bukan "saiber"). Pada simposium budaya internasional mengenai budaya media di Universitas Leiden yang diselenggarakan atas prakarsa Verbal Art in the Audio-Visual Media of Indonesia (VA-AVMI), April 2001, Veven Sp. Wardhana menorehkan catatan sebagai berikut: "Maknanya, harus ada kreativitas untuk menyiasati media yang berbeda. Dalam bahasa Faruk, sastra di internet harus berbeda dengan sastra cetak yang konvensional karena medianya juga berlainan. Yang ada selama ini sebatas memindahkan sastra cetak ke sastra internet."

Sastra cyber merupakan revolusi. Sebagaimana internet menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah kehadiran televisi.

Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Ketika biaya publikasi semakin mahal. Begitu juga dengan keberadaan sastra koran ,kemudian dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang.
Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.


Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah dituding oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan tersebut.

Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya.

Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang sering mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau "nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisinal?

Namun, benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup pintu rapat-rapat bagi "orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di "darat" atau "eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.

Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitik penyair tersebut.

Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair "sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?

Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan "pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa harus takut pada gunting tajam sosok redaktur.

Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya dan karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan besar ini menolak disebut pengarang "profesional" dan lebih suka disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis karena memang mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam pengertian "pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di koran atau majalah.

Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam membaca hal-hal tsb.

Selain permasalahan diatas minimnya keterlibatan komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo. Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa) universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas, apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sastra elektronik (sasel) Indonesia.

Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi "orang-orang yang aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber."

Kenaifan seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui bahwa cyborgcybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya. Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Warscyborg paling terkenal dari budaya populer. adalah kependekan dari adalah contoh

Tidak terdeteksinya minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif tentang sastra cyber. Agak sulit membayangkan di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar (dan calon guru besar) di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick Montfort, yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dari Tomb Raider.

Angkatan 66

Tentang Angkatan 66 ada empat orang penulis yang mengutarakannya. Mereka itu HB Jassin dalam angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968) , Satyagraha Hoerip artikelnya dalam horison yang berjudul Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita (1966) , Artikel Aoh K Hadimadja berjudul Daerah dan Angkatan 66 majalah Horizon-1967, Artikel Racmat djoko Pradopo Penggolongan Angkatan dan angkatan 66 dalam Sastra-Horison Juni 1967

Mereka memang saling berbeda pendapat atau persepsi namun tak begitu prinsipil karena sesungguhnya tidak ada pihak yang dirugikan. Bagi mereka, para pengarang itu, masuk golongan apapun tak jadi soal.

Akan tetapi menurut HB Jassin, "Angkata 66 Bangkitya Satu Generasi" (Horison, Agustus 1966) adalah suatu angkatan. Adapun yang termasuk dalam angkatan 66 ini menurutnya adalah mereka-mereka yang takkala proklamasi kemerdekaan (1945) kira-kira berumur enam tahun dan baru masuk SD/SR. Jadi tahu 1966 baru sekitar 20-an tahu. Mereka itu telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955-an seperti Kisah, Siasat , Mimbar Indonesia , Budaya, Crita, Sastra, Konfrontasi, Basis, Prosa dan sebagainya.

Untuk angkatan 66 seperti yang digolongkan oleh HB Jassin itu, yang lain sekitar zaman pendudukan Jepang, menurut Satyagraha Hoerip lebih tepat kalau dimasukkan kedalam angkatan Manifes ( Horison Desember 1966 ). Tentu saja bukannya tanpa alasan. Sebab memang merekalah yang sebagian besar tergabung atau justru terang-terangan mendukung adanya Manifes Kebudayaan di tahun 1964 yang kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno tahun berikutnya.

Dengan demikian bisa dicatat nama-namanya , antara lain : Ajip Rosidi, Rendra, Taufiq Ismail, Hartojo Andangjaya, Mansur Samin, Goenawan Muhammad, Djamil Suhirman , Bur Rasuanto, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin dll. Jadi yang temasuk angkatan 66 ini bukannya yang baru menulis sejak adanya perlawanan ditahun 1966. Tetapi, justru yang telah sejak beberapa tahun sebelumnya dengan satu kesadaran.

Ajip Rosidi didalam kertas kerjanya di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa Kedua Jakata tahun 1960, malahan sudah menggunakan istilah Angkatan Terbaru. Menurutnya, mereka muncul pada saat dunia sastra kita digamangi oleh kemuraman karena adanya krisis, kelesuan dan impase (kebuntuan). Mereka merupakan hasil pengajaran yang tumbuh dalam pengaruh kesusasteraan Indonesia. Mereka telah memberikan nilai baru terhadap ilham dan tempat berpijak serta berakar secara kultural.

Untuk lebih jelasnya, lihat buku Ajip Rosidi Kapan Kesusasteraan Indonesia Lahir (1968), juga simak tulisan HB Jassin Angkatan 66, Bangkitnya satu generasi, dalam bukunya Angkatan 66 Prosa dan Puisi terbitan tahun 1968.

Sejarah Singkat Angkatan 45

Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang-pngarang yang muncul pada tahun 1940-an. Yakni sekitar penjajahan Jepang, zaman Proklamasi dan berikutnya.

Diantara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail dsb. Nmaun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru. Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak.

Lebih dari itu, "jiwa" yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya.

Dibidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45.Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara-cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas, lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra.

Source Jajak MD - Para Pujangga Indonesia


Sejarah singkat tentang Pujangga Baru

Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.

Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.

Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.

Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.

Pujangga Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Karya Sastra Pujangga Lama

  • Sejarah Melayu

  • Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam - Hikayat Tjendera Hasan - - Tsahibul Hikayat

  • Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak

  • dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya


Pujangga Jawa

Sesunguhnya, di Jawa, atau tepatnya di Surakarta, sekitar 150 tahun sebelum lahirnya Pujangga Baru, telah ada pujangga yang memiliki reputasi tinggi.Salah satu diantaranya adalah Kiai Jasadipuro I dan Jasadipuro II. Hanya Bedanya, mereka mengarang dalam bahasa Jawa dan dengan huruf jawa pula. Sesudah keduanya tiada, menyusul pujangga yang tak kalah hebatnya, yakni Kiai Ronggowarsito. Apakah mereka semua sudah bisa digolongkan atau dianggap sebagai embrio pujangga sastra Indonesia, saya tak tahu pasti. Yang jelas, peninggalannya dalam "sastra jawa", memiliki arti penting tersendiri.

Akan halnya Kiai Jasadipuro I lahir tahun 1792 dan wafat tahun 1802. Pujangga Surakarta ini berputera Tumenggung Sastranegara, atau Kiai Jasadipuro II. Keduanya pujangga, bahkan terkadang sulit membedakan hasil karyanya, karena mereka melahirkan karyanya secara bersama.Adapun hasil karyanya yang terkenal antara lain gubahan Arjuna Wiwaha, diterbitkan oleh Dr. Palme van den Broek tahun 1868 di Batavia; Serat Rama diterbitkan tahun 1846 oleh Bataviaasch Genootschap. Kemudian diterbitkan GCT van Dorp di Semarang tahun 1872 dan 1884. Baru kemudian diterbitkan oleh Penerbi Balai Pustaka tahun 1925.

Menyusul kemudian gubahan Bharatayudha-nya di terbitkan oleh Dr.AB. Cohen Stuart tahun 1856 dan oleh Bataviaasch Genootschap tahun 1860. Selanjutnya, di Surakarta sendiri oleh Raden Dirdjaatmadja diterbitkan secara berturut-turut 1901,1903 dan 1908.

Karya lainnya serat Panitisastra yang ditulisnya terbit tahun 1798. Serat Dewarutji Djarwa terbit 1801, Serak Meruk tahun 1934 oleh Balai PUstaka. Serat Ambija 1808, Serat Tandjusalatin 1804 , Serat Tjebolek 1886, Babat Gijanti oleh Balai Pustaka 1939. Karangan diatas adalah hasil karya Kiai Jasadipuro I.

Sedang karya Kiai Jasadipuro II antara lain : Serat Ardjunasosrobahu 1824, Serat Darmasunya 1820, Sasana Sanu 1825 dan Serat Witjara Keras 1825. Semua buku diatas dicetak dengan huruf jawa.

Tepat pada tahun 1802 saat wafatnya Kiai Jasadipuro I, lahirlah Raden Ngabehi Ronggowarsito.Tepatnya tanggal 14 maret 1802. Beliau ini juga keluarga sastrawan Jawa. Cucu dari Raden Ngabehi Jasadipuro II. Jadi memang darah keturunan pujangga.

Pada saat mudanya, suka sekali bepergian kemana-mana, dengan alasan mencari ilmu dan pengalaman.

Bahkan sampai juga di pondok-pondok pesantren sekitarnya seperti Madin dan Ponorogo. Sedangkan ketika itu, Surakarta berada di bawah Pemerintahan Sri Mangkunegoro IV yang memang meluhurkan kesenian, sehingga mereka secara tersamar bisa menyusupkan pengaruh-pengaruhnya.

Ketika itu, sudah ada beberapa petugas bahasa, pegawai pemerintahan Surakarta. Antara lain Dr. Palmer van den Broek dan CF Winter. Tetapi mereka justru lebih banyak belajar pada Ronggowarsito tentang bahasa dan sastra Jawa. Namun sebaliknya Ronggowarsito juga menimba ilmu pengetahuan lebih luas dari mereka, terutama sastra barat.

Pada saat iru sastra jawa tak bisa dilepaskan dengan gamelan.Menyadari akan hal ini, dengan gending Ronggowarsito berusaha mendobraknya.

Lalu mulailah ia mengarang prosa, karena baginya hasil sastra itu bisa berupa atau bentuk apa saja. Baik Puisi atau prosa. Atas prakarsa inilah lahir babak baru kesusasteraan jawa. Tentu saja saat itu masyarakat tidak begitu saja mnerimanya. Namun ia sama sekali tak bergeming dari tekadnya. Ia tidak hanya menangani sastra saja, tetapi juga agama, filsafat, pendidikan, sejarah, kebatinan bahkan juga tentang ramalan-ramalan yang agak berbau mistik.

Tetapi kemudian, lambat laun, masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya prosa bagi mereka. Bukankah lebih mudah ditangkap dan dinikmati? Selanjutnya, malah karangan-karangannya yang mengandung filsafat banyak dikagumi dan diserap rakyat.

Sebagai seorang Pujangga, ia gigih dan ulet serta kritis dalam menghadapi keadaan dan hari depan. Bahkan Serat Kalatida ini ditulisnya setelah ia uzur. Kalatida ditulis dalam bentuk puisi. Namun demikian, mudah ditangkap isi dan maksudnya yang intinya memberikan reaksi atas adanya kemunduran moral yang mulai terjadi saat itu. Salah satu baitnya yang sangat populer adalah yang tertera dibawah ini.

"Amenangi jaman edan, euh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu hanglakoni, bojo keduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lalai, lewih begja kang eling lan waspada"

terjemahannya kira-kira ; "Mengalami zaman gila, sulit rumit dalam bertindak, ikut gila tak sampai hati, jika tak ikut larut tak bakal dapat rejeki, kelaparalah akhirnya, namun sudah takdir kehendak Allah, lebih mujur bagi yang ingat (pada Tuhan) dan tetap waspada"

Pada tahun 1953, buku-bukunya pernah dipamerkan di Surakarta, guna mengenang jasa dan kebesarannya. Buku yang dipamerkan saat itu hanya 40 judul saja. Bentuknyapun masih bentuk lama puisi dan prosa.

Sedangkan buku-buku Ronggowarsito antara lain; Jayabaya, Jokolodang, Kalatida, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, Pustakaraja, Wirid dll.

Kini patung Ronggowarsito sudah bisa kita lihat didepan gedung Radya Pustaka di Surakarta. Pada tugu tersebut tertulis bait-bait bukunya Kalatida diatas. Sedangkan makamnya ada didesa Palur, Kabupaten Klaten, telah dipugar dengan baik oleh Departemen P dan K.

Sastra Nusantara

  • Sastra Bali
  • Sastra Batak
  • Sastra Bugis
  • Sastra Indonesia (Modern)
  • Sastra Jawa
  • Sastra Madura
  • Sastra Makassar
  • Sastra Melayu
  • Sastra Minangkabau
  • Sastra Sasak
  • Sastra Sunda
  • Sastra Lampung

Pembagian Sastra

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:

  • Pujangga Lama

  • Sastra "Melayu Lama"

  • Angkatan Balai Pustaka

  • Pujangga Baru

  • Angkatan '45

  • Angkatan 50-an

  • Angkatan 66-70-an

  • Dasawarsa 80-an

  • Angkatan Reformasi

Secara metode penyampaian sastra Indonesia terbagi atas 2 bagian besar, yaitu:

  • lisan

  • tulisan

Pujangga Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Karya Sastra Pujangga Lama

  • Sejarah Melayu

  • Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam - Hikayat Tjendera Hasan - - Tsahibul Hikayat

  • Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak

  • dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya

Sastra "Melayu Lama"

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah sumatera lainnya", Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra "Melayu Lama"

  • Robinson Crusoe (terjemahan)

  • Lawan-lawan Merah

  • Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)

  • Graaf de Monte Cristo (terjemahan)

  • Kapten Flamberger (terjemahan)

  • Rocambole (terjemahan)

  • Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)

  • Bunga Rampai oleh A.F van Dewall

  • Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe

  • Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan

  • Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya

  • Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)

  • Cerita Nyi Paina

  • Cerita Nyai Sarikem

  • Cerita Nyonya Kong Hong Nio

  • Nona Leonie

  • Warna Sari Melayu oleh Kat S.J

  • Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan

  • Cerita Rossina

  • Nyai Isah oleh F. Wiggers

  • Drama Raden Bei Surioretno

  • Syair Java Bank Dirampok

  • Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang

  • Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen

  • Tambahsia

  • Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo

  • Nyai Permana

  • Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)

  • dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya

Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka

  • Merari Siregar

    • Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)

    • Binasa kerna gadis Priangan! (1931)

    • Tjinta dan Hawa Nafsu

  • Marah Roesli

    • Siti Nurbaya

    • La Hami

    • Anak dan Kemenakan

  • Nur Sutan Iskandar

    • Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan

    • Hulubalang Raja (1961)

    • Karena Mentua (1978)

    • Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

  • Abdul Muis

    • Pertemuan Djodoh (1964)

    • Salah Asuhan

    • Surapati (1950)

  • Tulis Sutan Sati

    • Sengsara Membawa Nikmat (1928)

    • Tak Disangka

    • Tak Membalas Guna

    • Memutuskan Pertalian (1978)

  • Aman Datuk Madjoindo

    • Menebus Dosa (1964)

    • Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)

    • Sampaikan Salamku Kepadanya

  • Suman Hs.

    • Kasih Ta' Terlarai (1961)

    • Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)

    • Pertjobaan Setia (1940)

  • Adinegoro

    • Darah Muda

    • Asmara Jaya

  • Sutan Takdir Alisjahbana

    • Tak Putus Dirundung Malang

    • Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)

    • Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)

  • Hamka

    • Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)

    • Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)

    • Tuan Direktur (1950)

    • Didalam Lembah Kehidoepan (1940)

  • Anak Agung Pandji Tisna

    • Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)

    • Sukreni Gadis Bali (1965)

    • I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)

  • Said Daeng Muntu

    • Pembalasan

    • Karena Kerendahan Boedi (1941)

  • Marius Ramis Dayoh

    • Pahlawan Minahasa (1957)

    • Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.

Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.

Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan karya sastra Pujangga Baru

  • Sutan Takdir Alisjahbana

    • Layar Terkembang (1948)

    • Tebaran Mega (1963)

  • Armijn Pane

    • Belenggu (1954)

    • Jiwa Berjiwa

    • Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)

    • Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)

    • Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)

  • Tengku Amir Hamzah

    • Nyanyi Sunyi (1954)

    • Buah Rindu (1950)

    • Setanggi Timur (1939)

  • Sanusi Pane

    • Pancaran Cinta (1926)

    • Puspa Mega (1971)

    • Madah Kelana (1931/1978)

    • Sandhyakala ning Majapahit (1971)

    • Kertadjaja (1971)

  • Muhammad Yamin

    • Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928)

    • Kalau Dewi Tara Sudah Berkata

    • Ken Arok dan Ken Dedes (1951)

    • Tanah Air

  • Roestam Effendi

    • Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)

    • Pertjikan Permenungan (1953)

  • Selasih

    • Kalau Ta' Oentoeng (1933)

    • Pengaruh Keadaan (1957)

  • J.E.Tatengkeng

    • Rindoe Dendam (1934)

Angkatan '45

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.

Penulis dan karya sastra Angkatan '45

  • Chairil Anwar

    • Kerikil Tadjam (1949)

    • Deru Tjampur Debu (1949)

  • Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar

    • Tiga Menguak Takdir (1950)

  • Idrus

    • Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)

    • Aki (1949)

    • Perempuan dan Kebangsaan

  • Pramoedya Ananta Toer

    • Bukan Pasar Malam (1951)

    • Ditepi Kali Bekasi (1951)

    • Gadis Pantai

    • Keluarga Gerilja (1951)

    • Mereka jang Dilumpuhkan (1951)

    • Perburuan (1950)

    • Tjerita dari Blora (1963)

  • Mochtar Lubis

    • Tidak Ada Esok (1982)

    • Djalan Tak Ada Udjung (1958)

    • Si Djamal (1964)

  • Achdiat K. Mihardja

    • Atheis - 1958

  • Trisno Sumardjo

    • Katahati dan Perbuatan (1952)

    • Terjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, Saudagar Venezia, dll.

  • M.Balfas

    • Lingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978)

  • Utuy Tatang Sontani

    • Suling (1948)

    • Tambera (1952)

    • Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

Angkatan 50-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.

Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an

Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

  • Ali Akbar Navis

    • Bianglala: kumpulan tjerita pendek (1963)

    • Hudjan Panas (1963)

    • Robohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950)

  • Bokor Hutasuhut

    • Datang Malam (1963)

  • Enday Rasidin

    • Surat Cinta

  • Nh. Dini

    • Dua Dunia (1950)

    • Hati jang Damai (1960)

  • Nugroho Notosusanto

    • Hujan Kepagian (1958)

    • Rasa Sajangé (1961)

    • Tiga Kota (1959)

  • Ramadhan K.H

    • Api dan Si Rangka

    • Priangan si Djelita (1956)

  • Sitor Situmorang

    • Dalam Sadjak (1950)

    • Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)

    • Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)

    • Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)

    • Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

  • Subagio Sastrowardojo

    • Simphoni (1957)

  • Titis Basino

    • Pelabuhan Hati (1978)

    • Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen) (1963)

    • Lesbian (1976)

    • Bukan Rumahku (1976)

    • Pelabuhan Hati (1978)

    • Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983)

    • Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998)

    • Aku Supiah Istri Wardian (1998)

    • Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998)

    • Terjalnya Gunung Batu (1998)

    • Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998)

    • Rumah Kaki Seribu (1998)

    • Tangan-Tangan Kehidupan (1999)

    • Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999)

    • Mawar Hitam Milik Laras (1999)

  • Toto Sudarto Bachtiar

    • Suara : kumpulan sadjak 1950-1955 (1962)

    • Etsa, sadjak-sadjak (1958)

  • Trisnojuwono

    • Angin Laut (1958)

    • Dimedan Perang (1962)

    • Laki-laki dan Mesiu (1951)

  • W.S. Rendra

    • Balada Orang² Tertjinta (1957)

    • Empat Kumpulan Sajak (1961)

    • Ia Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita pendek lainnja (1963)

  • dan banyak lagi karya sastra lainnya

Angkatan 66-70-an

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalah-pahaman; ia lahir mendahului jamannya.

Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.

Karya Sastra Angkatan '66

  • Sutardji Calzoum Bachri

    • O

    • Amuk

    • Kapak

  • Abdul Hadi WM

    • Laut Belum Pasang – (kumpulan puisi)

    • Meditasi – (kumpulan puisi)

    • Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur – (kumpulan puisi)

    • Tergantung Pada Angin – (kumpulan puisi)

    • Anak Laut Anak Angin – (kumpulan puisi)

  • Sapardi Djoko Damono

    • Dukamu Abadi – (kumpulan puisi)

    • Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi)

    • Perahu Kertas – (kumpulan puisi)

    • Sihir Hujan – (kumpulan puisi)

    • Hujan Bulan Juni – (kumpulan puisi)

    • Arloji – (kumpulan puisi)

    • Ayat-ayat Api – (kumpulan puisi)

  • Goenawan Mohamad

    • Interlude

    • Parikesit

    • Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)

    • Asmaradana

    • Misalkan Kita di Sarajevo

  • Umar Kayam

    • Seribu Kunang-kunang di Manhattan

    • Sri Sumarah dan Bawuk – (kumpulan cerita pendek)

    • Lebaran di Karet, di Karet - (kumpulan cerita pendek)

    • Pada Suatu Saat di Bandar Sangging -

    • Kelir Tanpa Batas

    • Para Priyayi

    • Jalan Menikung

  • Danarto

    • Godlob

    • Adam Makrifat

    • Berhala

  • Putu Wijaya

    • Telegram

    • Stasiun

    • Pabrik

    • Gres – Putu Wijaya

    • Bom

    • Aduh – (drama)

    • Edan – (drama)

    • Dag Dig Dug – (drama)

  • Iwan Simatupang

    • Ziarah

    • Kering

    • Merahnya Merah

    • Koong

    • RT Nol / RW Nol – (drama)

    • Tegak Lurus Dengan Langit

  • Arifin C. Noer

    • Tengul – (drama)

    • Sumur Tanpa Dasar – (drama)

    • Kapai Kapai – (drama)

  • Djamil Suherman

    • Sarip Tambak-Oso

    • Umi Kulsum – (kumpulan cerita pendek)

    • Perjalanan ke Akhirat

    • Sakerah

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dasawarsa 80-an

Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi.

Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-an

Antara lain adalah:

  • Badai Pasti Berlalu - Cintaku di Kampus Biru - Sajak Sikat Gigi - Arjuna Mencari Cinta - Manusia Kamar - Karmila

Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih "berat".

Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000.

Sastrawan Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

Sastrawan Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki 'juru bicara', Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany.

  • Abidah el Khalieqy

  • Afrizal Malna

  • Ahmad Nurullah

  • Ahmad Syubanuddin Alwy

  • Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan 2000, tapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980-an.

  • Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, lanjutan dari cerita Saman.

  • Dorothea Rosa Herliany

  • Seno Gumira Ajidarma

Cybersastra

Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (internet)baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di dunia maya

Peraih Nobel Kesustraan

1. Sully Prudhomme -1901

51. Juan Ramon Jimenez -1956

2. Theodor Christian Matthias Mommsen -1902

52. Albert Camus -1957

3. Bjornstjerne M. B. - 1903 53. Boris L. Pasternak -1958
4. Fredeic Mistral -1904 54. Salvatore Quasimodo -1959

5. Jose De Echegaray Yeiza -1904

55. Saint-John Perse -1960

6. Henryk Sienkiewicz -1905

56. Ivo Andric -1961
7. Giosue Carducci -1906 57. Jhon Steinbeck -1962
8. Rudyard Kipling -1907 58. Giorgios Saferis -1963

9. Rudolf Christoph Fucken -1908

59. Jean Paul Sarte -1964

10. Selma Attilia Lovisa -1909

60. Michael A. Sholokhov -1965

11. Paul Johan Ludwig H -1910

61. Samuel Yosef Agnon -1966

12. Maurice Maeterlinck -1911

62. Leonie Nelly Sachs -1966

13. Gerhart Johann RH -1918

63. Miguel Angel Asturias -1967

14. Rabindranat Tagore -1913

64. Yasunari Kawabata -1968

15. Romain Rolland -1915

65. Samuel Becket -1969

16. Carl Gustav Verner VH -1916

66. Alexander Solzhenitsyn -1970

17. Karl Adolph Gjellerup - 1917

67. Pablo Neruda -1971
18. Henrik Pontoppidan -1917 68. Heinrich Boll -1972
19. Carl Friedrich Georgh S -1919 69. Patrick White -1973

20. Knut P Hamsun -1920

70. Eyvind Jhonson -1974

21. Anatole France -1921

71. Harry Martinson -1974

22. Jacinto Benavente -1922

72. Eugenio Montale -1975
23. William Butler Yeats -1923 73 Saul Bellow -1976
24. Wladyslaw Stanislaw R -1924 74. Vicente Aleixandre -1977
25. George Bernard Shaw -1925 75. Isaac Bashevis Singer -1978
26. Grazia Deledda -1926 76. Odysseus Elytis -1979
27. Henri Bergson -1927 77. Czeslaw Milosz -1980
28. Sigrid Undset -1928 78. Elias Caneti -1981
29. Thomas Mann -1929 79. Gabriel Garcia Marquez -1982
30. Sinclair Lewis -1930 80. William Golding -1983
31. Erik Axel K -1931 81. Jaroslav Seivert -1984
32. John GAlsworthy -1932 82. Claude Simon -1985
33. Ivan Alekseyevich Bunin -1933 83. Wole Soyinka -1986
34. Luigi Pirandello -1934 84. Joseph Brodsky -1987
35. Eugene Gladstone O'neill -1936 85. Naguib Mahfouz -1988
36. Roger Martin Du Gard -1937 86. Camilo Jose Cela YT -1989
37. Pearl Buck -1938 87. Octavio Paz -1990
38. Frans Eemil Silanpaa -1939 88. Nadine Gordimer -1991
39. Johannes Vilhem Jensen -1944 89. Derek Walcott -1992
40. Gabriela Mistral -1945 90. Toni Morrison -1993
41. Hermann Hesse -1946 91. Kenzaburo Oe -1994
42. Andre Gide 1947 92. Seamus Heaney -1995
43. Thomas Stearns Eliot -1948 93. Wislawa Szymborska -1996
44. William Faulkner -1949 94. Dario Fo -1997
45. Bertrand Russel -1950 95. Jose Saramago -1998
46. Par Lagerkvist -1951 96. Gunter Grass -1999
47. Francois Mauriac -1952 97. Gao Xingjian -2000
48. Sir Winston Leonard SC -1953 98. Sir V.S. Naipaul -2001
49. Ernest Hemingway -1954
50. Halldor Kiljan Laxness -1955